Mana yang lebih tepat, mengenalkan nama-nama huruf dulu kepada anak, baru merangkainya jadi kata atau kenalkan kata dulu, kemudian anak diberi tahu nama-nama huruf?
Kedua cara itu sepertinya sama saja, namun percayakah Anda bahwa keduanya memiliki dampak yang berbeda. Pernahkah Anda mencoba menyusun puzzle? Faktanya, mengetahui sejak awal gambar yang akan dihasilkan dari kepingan puzzle akan mempermudah kita memecahkan teka-tekinya dibandingkan langsung menyusunnya tanpa melihat gambar akhir.
Huruf ibarat kepingan puzzle, merupakan bagian kecil gambar yang tidak bisa didefinisikan bentuk dan maknanya. Huruf tidak menarik bagi anak-anak, sebagaimana mur dan baut ketika ia tidak terpasang di rangkaian mainan mereka.
Huruf akan membuat anak antusias ketika mereka tahu bahwa itulah yang menjadi elemen penyusun kata yang biasa mereka ucapkan.
Ketika anak-anak diajak mengeja atau merangkai huruf untuk bisa membunyikan pola gabungannya, ada sejenis beban yang menyertai otak. Beban itu adalah ketidakjelasan tujuan. Jika kemampuan anak untuk bertahan tidak cukup baik, maka kegiatan mengeja sangat mungkin akan melumpuhkan minat belajar pada tahap selanjutnya.
Bagi orang dewasa sebenarnya hal ini juga sering terjadi. Kisah ini mungkin dapat menjadi sebuah gambaran. Seorang pekerja bangunan bernama A diajak untuk mengerjakan sebuah proyek. Ia mendapat tugas untuk mendampingi tukang lain yang lebih senior. Apa yang ia kerjakan? Ia hanya perlu menyaring pasir, mencampur pasirnya dengan semen, mengangkut batu bata, dan membawa adukan itu ke tukang senior untuk digunakan. Ia tidak pernah diberi tahu apa yang akan dibangun dan bagaimana bentuknya. Karena yang ia hadapi hanyalah pasir, semen, batu-bata, maka di dalam pikirannya, hanya itulah yang ada. Rasa bosan pun kerap datang menghinggapinya karena terus-menerus melakukan hal yang sama tanpa tahu betul apa yang akan ia buat. Ketika orang bertanya kepadanya, apa yang sedang dikerjakan, maka jawabannya, “Jadi kuli, Pak”.
Bandingkan dengan pekerja bangunan lain, sebutlah B. Sejak awal ia bekerja dalam sebuah proyek, mandor dan seniornya sudah bercerita bahwa yang akan mereka bangun adalah Taman Kanak-Kanak. Si mandor menunjukkan gambar denahnya dan juga gambaran bangunan dalam versi tiga dimensi beserta berbagai kelengkapannya. Saat sesi bekerja dimulai, dari mandor hingga pekerja kasar yang bersentuhan langsung dengan pengadukan pasir secara sadar memiliki sebuah tujuan dan gambaran yang sama. Apa pengaruhnya bagi tim yang bekerja? Ternyata mereka memiliki semangat lebih besar. Ketika orang bertanya kepada B, apa yang sedang ia kerjakan, maka jawabannya, “Aku sedang membangun Taman Kanak-Kanak”. Jika ada saatnya rasa lelah dan bosan datang, ia ingat lagi kepada gambaran besar yang sudah ada di pikirannya, “Aku sedang membangun Taman Kanak-Kanak”. Gambaran besar itu bukan hanya memicu semangat untuk menyelesaikannya, namun menyentuh sisi kemanusiaan pekerja B, bahwa apa yang dikerjakannya adalah sesuatu yang berarti.
Jadi, belajar membaca tanpa mengeja bukan sebuah konsep asal-asalan tanpa argumentasi. Belajar membaca tanpa mengeja adalah cara yang sangat ramah anak, agar mereka terbebas dari beban psikologis dalam menjalani proses belajar.
Nah, jika anak Anda sudah bisa membaca, pilihkanlah buku bacaan yang menarik berbentuk boardbook, tulisannya besar-besar, sampul dan halaman-halamannya lebih kaku dan kuat. Kelebihanya adalah buku ini tidak mudah sobek. Seperti ini contohnya
Bapak ibu bisa melihat-lihat buku ini di halaman katalog buku boardbook